Please wait...
Pastikan anda tersambung pada koneksi internet
Kuliah Umum
Berita 34 Dilihat
Kuliah umum bertemakan : Isu Lingkungan Terkini yang diadakan oleh Program Pascasarjana Universitas Palangka Raya pada Sabtu, 13 September 2025 yang mendatangkan narasumber dari guru besar  Institut Pertanian Bogor  yakni Prof.  Dr. Supiandi Sabiham,  Isu utama lingkungan yang dipaparkan merupakan masalah yang sedang dihadapi oleh dunia yaitu ancaman serius dari dampak Triple Planetary Crisis yang sangat
mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman
hayati, serta polusi dan limbah.
Pada Conference of The Parties (COP) di United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) 21 Paris, Perancis tahun 2015, para pimpinan dunia telah
menandatangani Paris Agreement Target yang berisikan komitmen bersama dalam
rangka penurunan suhu bumi dibawah 2°C dan mempertahankan kenaikan suhu sebesar
1,5°C dibandingkan zaman pra-industrialisasi. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2016 telah meratifikasi Paris Agreement, selanjutnya pada tahun yang sama,
pemerintah juga menyampaikan komitmen tertulis (Nationally Determined
Contributions/NDC) 2030 dan penyampaian strategi jangka panjang untuk mengarahkan
pembangunan menuju ekonomi rendah karbon dan ketahanan iklim, Long-Term Strategy
on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Dalam dokumen NDC,
pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca pada 5 (lima)
sektor yaitu Energy, Waste, Industrial Process and Production Use (IPPU), Agriculture,
dan Forestry and Other Land Use, sebesar 29,00% dengan upaya sendiri dan 41,00%
dengan dukungan internasional.
Sampai dengan tahun 2020, implementasi kebijakan pengendalian krisis iklim
dilakukan melalui mekanisme REDD+ dan RAN GRK. Implementasi tersebut masih
menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya dokumen perencanaan terpadu
berbasis spasial, koordinasi antar-pemangku kepentingan yang belum optimal, dan
belum tersedianya sistem MRV (pelaporan, pemantauan, dan evaluasi).
Kemudian Pemerintah menetapkan Enhanced Nationally Determined Contributions
(Enhanced NDC) sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan dukungan
internasional. Langkah tersebut dilakukan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor
98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian
Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah
Kaca Dalam Pembangunan Nasional, sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya
(FOLU) menjadi penyerap karbon pada tahun 2030 (Indonesia’s FOLU Net Sink 2030).
Lalu dilanjutkan dengan mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun
2021, Pemerintah melalui KLHK telah menerbitkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia's FOLU
Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.
Peran pemerintah dalam menghadapi dinamika isu lingkungan dan perubahan iklim
menjadi sangat penting dan strategis, terutama dalam konteks kebijakan FOLU Net Sink
2030. Berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi implementasi kebijakan, seperti
perubahan iklim global, tekanan ekonomi, kebijakan internasional, dan perubahan sosial
harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menavigasi tantangan isu lingkungan
secara bijaksana dan proaktif.
Pertama, perubahan iklim global menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan
yang cepat dan efektif dalam mitigasi dan adaptasi. Pemerintah harus mampu merespon
perubahan cuaca ekstrem, seperti kebakaran hutan dan banjir, dengan
mengimplementasikan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Ini termasuk restorasi lahan
kritis, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan pengurangan emisi dari sektor
kehutanan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan dan tindakan yang
diambil didasarkan pada data ilmiah yang akurat, terkini dan relevan.
Kedua, tekanan ekonomi juga merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan.
Peningkatan kebutuhan akan lahan untuk pertanian dan industri dapat menyebabkan
konversi hutan. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara
kebutuhan ekonomi dan konservasi lingkungan. Ini dapat dilakukan melalui
pengembangan kebijakan yang mendorong penggunaan lahan yang berkelanjutan dan
penerapan insentif bagi pelaku usaha yang berkontribusi pada pengurangan emisi.
Pemerintah juga perlu mengarahkan investasi ke sektor-sektor yang mendukung
keberlanjutan, seperti energi terbarukan dan teknologi hijau.
Ketiga, kebijakan internasional juga mempengaruhi implementasi FOLU Net Sink
2030. Sebagai bagian dari Perjanjian Paris, Indonesia harus mematuhi komitmen
internasional untuk mengurangi emisi GRK. Pemerintah harus mampu bernegosiasi dan
membangun kerjasama internasional untuk mendapatkan dukungan finansial dan
teknologi yang diperlukan untuk mencapai target emisi. Hal ini mencakup partisipasi aktif
dalam forum internasional dan kerjasama dengan negara-negara lain untuk berbagi
pengetahuan dan pengalaman dalam mitigasi perubahan iklim.
Keempat, perubahan sosial di dalam negeri juga mempengaruhi keberhasilan
kebijakan FOLU Net Sink 2030. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap isu
lingkungan dan perubahan perilaku dapat menjadi faktor pendukung yang kuat.
Pemerintah harus mampu memanfaatkan momentum ini dengan melibatkan masyarakat
dalam upaya konservasi dan memberikan edukasi yang diperlukan untuk mendukung
perubahan perilaku yang positif. Program yang melibatkan masyarakat secara langsung,
seperti perhutanan sosial dan agroforestri, dapat meningkatkan partisipasi dan dukungan
masyarakat terhadap kebijakan lingkungan.
Kelima, peran pemerintah dalam mengelola kerjasama dengan berbagai pemangku
kepentingan sangat penting. Kebijakan FOLU Net Sink 2030 membutuhkan dukungan
dari pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, LSM, dan masyarakat lokal.
Pemerintah harus mampu membangun jaringan kerjasama yang kuat dan memastikan
koordinasi yang efektif antara berbagai pihak. Ini termasuk mengatasi potensi konflik
kepentingan dan memastikan bahwa semua pihak bekerja menuju tujuan yang sama.
Pemerintah juga harus mampu mengelola transparansi dan akuntabilitas dalam
implementasi kebijakan untuk memastikan bahwa semua tindakan yang diambil dapat
dipertanggungjawabkan dan memberikan dampak positif.
Sejalan dengan visi, misi, dan program Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-
2029 yang menyatakan bahwa tujuan pembangunan Indonesia Emas sebelum tahun
2045 adalah mencapai pendapatan per kapita setara negara maju, menurunkan
kemiskinan, mengurangi ketimpangan, meningkatkan kepemimpinan internasional,
memperbaiki daya saing sumber daya manusia, serta menurunkan intensitas GRK
menuju net zero emission. Misi ini dijabarkan dalam visi "Indonesia Maju Menuju
Indonesia Emas 2045" yang terdiri dari 8 Misi Asta Cita, 17 Program Prioritas, dan 8
Program Hasil Terbaik Cepat, dengan fokus pada penanganan perubahan iklim melalui
ekonomi hijau. Untuk mencapai transformasi pembangunan berketahanan iklim,
diperlukan kepemimpinan strategis yang efektif menetapkan, mengarahkan,
mengkoordinasikan,  memobilisasi berbagai sumber daya dan pemangku kepentingan.